Idul Adha bukan sekadar perayaan yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban. Lebih dari itu, ia merupakan momentum spiritual yang mengajak umat Islam merenungkan kembali makna sejati dari pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan kepada Tuhan. Kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS, menjadi inti dari ajaran luhur ini. Dalam kisah tersebut, kita tidak hanya melihat tindakan penyembelihan hewan, melainkan juga penyembelihan ego, rasa memiliki, dan keduniawian demi ketaatan mutlak kepada Allah SWT.
Idul Adha mengajarkan bahwa pengorbanan yang sejati bukan tentang kehilangan, tetapi tentang memberi dengan ikhlas. Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih anaknya, beliau tidak mempertanyakan logika perintah tersebut, melainkan berserah penuh sebagai bentuk cinta dan kepatuhan kepada Tuhan. Demikian pula Ismail, yang dengan tabah menerima takdirnya sebagai bentuk penghambaan yang total. Keduanya mencontohkan bahwa puncak spiritualitas adalah ketika manusia mampu menundukkan kehendaknya di hadapan kehendak Ilahi.
Di masa kini, makna kurban bisa kita refleksikan lebih luas. Tidak semua orang mampu menyembelih hewan, tetapi setiap orang memiliki kesempatan untuk "berkurban" dalam bentuk lain—menyisihkan waktu untuk membantu sesama, menyisihkan ego untuk menjaga hubungan, atau mengorbankan kenyamanan demi menegakkan kebenaran. Kurban bukan hanya tentang daging yang disalurkan, tetapi tentang nilai yang mengalir dari tindakan tersebut: empati, solidaritas, dan cinta kasih.
Sayangnya, dalam praktiknya, semangat pengorbanan ini kadang tereduksi menjadi formalitas tahunan. Hewan disembelih, daging dibagikan, namun esensi spiritualnya luput dari perhatian. Idul Adha menjadi ajang pencitraan sosial, bukan lagi refleksi kesalehan. Di sinilah pentingnya kita kembali merenungi: apakah kurban kita benar-benar sebagai bentuk ketundukan kepada Allah, ataukah hanya rutinitas tanpa makna?
Idul Adha seharusnya menggerakkan hati, menumbuhkan kesadaran bahwa hidup adalah tentang memberi, bukan sekadar memiliki. Dari kisah Ibrahim dan Ismail, kita diajak memahami bahwa sejatinya yang diminta Allah bukanlah nyawa, melainkan ketulusan. Maka dari itu, penyembelihan hewan hanyalah simbol; yang sesungguhnya ingin "disembelih" adalah sifat tamak, egois, dan cinta dunia yang berlebihan.
Dalam dunia yang semakin individualistik dan materialistik, Idul Adha menawarkan nilai tandingan: hidup yang dilandasi cinta, kepasrahan, dan keikhlasan. Kurban menjadi pengingat bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling banyak mengumpulkan, tetapi siapa yang paling ikhlas memberi. Dari penyembelihan, kita belajar pengorbanan; dan dari pengorbanan, kita menemukan kedekatan dengan Tuhan dan sesama.
Penulis: M. Dani Habibi, M. Ag
Tags: