Kata syirik adalah term yang sangat poupuler dalam dunia Islam, yang sudah barang tentu konotasinya negatif yakni menyekutukan Tuhan Allah SWT. Syirik adalah sebuah bentuk dan persepsi tentang ketuhanan dan keilahian yang melenceng, atau sering disebut mensekutukan Tuhan Allah SWT dalam bentuk real keyakinan dan praktek peribadatan.
Istilah syirik sendiri kadang menjadi klaim serangan kepada kelompok-kelompok tertentu yang melakukan sebuah ritual dan praktek kegamaan yang dinanggap menyimpang atau tidak sesuai dengan syariat agama. Hal ini tentu sudah dapat kita maklumi. Terlebih menurut penjelasan para ulama bahwa keyakinan syirik dan prakteknya adalah dosa besar karena syirik sendiri merupakan keyakinan tentang adanya kekuatan tuhan selain kekuatan Allah SWT.
Lebih jelasnya, Al-Qur’an memberi penegasan dan ancamam betapa syirik adalah salah satu dosa besar dan tidak dimaafkan oleh Allah SWT. Selain itu, dalam penjelasan para Ulama, Allah SWT masih memungkinkan untuk mengampuni dosa hamba-hambanya selain dosa syirik tersebut.
Jadi syirik adalah dosa yang sangat besar dan tak terampunkan karena dosa ini meyakini kekuatan atau keberadaan Tuhan selain tuhan Allah SWT.
Akan tetapi, dalam perkembangannya istilah syirik sering dijadikan sebagai alat kampanye atau alat menyerang kelompok Islam terkait soal praktek dan ritual kegaamaan tertentu.
Istilah syirik, Sering sekali kita jumpai dalam Sosial Media. Terlebih dalam youtobe. Sering di ungkapkan oleh para dai dan muballig dalam ceramah-ceramahnya.
Seiring dengan perkembangannya, kontekstualisasi kata Syirik dan Ritual sering kita jumpai disekeliling kita. Rutinitas masyarakat nusantara agak berbeda memahami konsep Ritual dan Syirik. Contohnya, Orang yang melakukan praktek keagamaan dengan akukturasi budaya semisal ziarah makam keramat/wali, kenduri, kirim doa leluhur, tujuh harian paska kematian, nyekar, piton-piton dan beberapa pola praktek keagamaan masyarakat Jawa lainnya.
Sering kali diberikan stigma atau labeling sebagai praktek kesyirikan. Justifikasi tersebut diberikan oleh beberapa kalangan masyarakat Islam di Indonesia.
Klaim kebenaran terhadap objektif ritual diatas menjadikan gelombang penilaian terhadap masyarakat Muslim tertentu.
Disisi lain, hal-hal semacam ini sudah barang tentu berasal dari inti ajaran agama yang dipraktekkan. Sementara itu, praktek keagamaan tersebut dipandang sebagai ritual yang sudah bercampur dengan adat istiadat yang pasti dianggap sebagai praktek kesyirikan sehingga harus di jauhi dan dihindari.
Dalam konteks Islam Nusantara, munculnya persepsi atau cara pandang sebagian kecil kelompok umat Islam yang mengganggap tradisi masyarakat Jawa (ziyarah makam, piton-piton, nyekar, dan lainnya). Kegiatan tersebut dianggap sebagai praktek kesyirikan oleh kelompok ormas Islam. Hal tersebut tentudilatar belakangi oleh gestur berfikir Islam Fundamental.
Artinya, kelompok-kelompok semacam ini memiliki paradigma berfikir tekstual. Gaya berfikir tekstual ini yang kemudian danggal dalam memahami serta mengungkap makna substansial ajaran agama karena yang dinilai hanya yang kasat mata saja tanpa mendalami hakikat serta maqosid dari inti ajaran agama yang sesungguhnya.
Dari cara pandang mereka, tentu berbanding terbalik dengan cara berfikir Islam Nusantara. Cara berislam fundamental tanpa mengedanpan aspek budaya dan kontekstual dalam memahami teks Qur’an dan Hadis yang mengakibatkan perbenturan antara satu dengan yang lainnya.
Sebuah analogi sederhana, ketika ada seseorang mengatakan bahwa di sebuah benda atau senjata keris ada kekuatannya, maka orang tersebut akan merasa tenang atau merasa nyaman ketika berada diluar. Lalu muncullah pertanyaan, Apakah orang yang membawa keris tersebut dianggap melakukan prilaku syirik ?.
Jika kita bandingkan lagi, apa bedanya seseorang yang banyak aktifitasnya diluar, selalu tenang karena ia membawa ATM yang di dalamnya ada uang elektroniknya.
Gus baha berpandangan bahawa tentu kondisi yang semacam ini tidak jauh berbeda antara seorang yang percaya dengan kekuatan yang ada di keris dan kekuatan yang ada di ATM karena keduanya sama-sama meyakini adanya kekuatan. Lantas, kenapa yang percaya dengan kekuatan yang ada di keris disebut prilaku kesyirikan ?
Sedangkan orang yang membawa ATM dan percaya dengan kekuatan uang yang ada di ATM tidak disebut syirik, tentu menjadi aneh memang.
Memang dalam beragama dan penghayatannya kita perlu menggunakan akal dan kesecerdasan agar dalam memahami inti (maqosidissyariah) supaya dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
Editor : M. Dani Habibi
Penulis: Imam Ma'ruf, S.Pd.
Tags:
NGOPI (NGolah dan PIkiran)
NGAJI (NGAjeni JIwo)