Puji-Pujian di Masjid Kampung: Warisan Budaya dan Spiritualitas Nusantara


Penulis: Imam Ma'ruf, S.Pd.
11 Jul 2024
Bagikan:
By: Imam Ma'ruf, S.Pd.
11 Jul 2024
24 kali dilihat

Bagikan:

Sore hari setiap pukul 15-30 WIB, terdengar sayup-sayup suara orang melantunkan syair-syair berbahasa Jawa. Suara tersebut keluar dari Toa yang ada di atas menara atau atas Mushola dan Masjid, seperti :

“Tombo ati iku limo ing wernane moca Al-quran angen angen sak maknane”

Syair diatas membuat saya merasakan bahwa yang di suarakan tersebut adalah bentuk nasehat-nasehat tentang obat kehidupan.

Selanjutnya, Syair-syair yang dilantunkan menjelang iqomah tersebut sesungguhnya adalah proses edukasi yang dilakukan oleh para ulama dahulu yang kemudian dilantunkan menjelang masuknya Sholat Lima Waktu. Uniknya lagi, tradisi seperti ini hanya bisa kita temukan di Indonesia.

Konon menurut cerita para guru, kyai dan ustad bahwa tradisi puji-pujian adalah sebuah strategi para Auliya yang ada di Jawa untuk mengajak jamaah untuk sholat berjamaah lima waktu.

Selain itu, jika dibandingkan dengan Timur Tengah semisalnya. Ketika mendengar suara azan mereka akan bergegas untuk pergi ke Masjid yang berada di dekat rumah.

Sedangkan di Indonesia khusunya diperkotaan, ketika Azan sudah berkumandang besar kemungkinan masyarakat muslim akan segera menuju ke Masjid untuk melakukan sholat berjamaah.

Berbeda jika ada di Desa. Untuk bisa mengajak sholat berjamaah di Musholla atau Masjid harus dengan menggunakan pujian-pujian. Sebagai salah satu tanda suara bahwa Sholat berjamaah belum di mulai.

Pujian-pujian yang dilantunkan sebelum Iqomah juga mempunyai bahasa yang bermacam-macam tergantung konteks daerah atau wilayah. Seperti, bahasa Sunda dan Jawa, tidak hanya itu. Kemungkinan besar di daerah-daerah lain juga menggunakan bahasa daerahnya

Saya teringat ketika masih kecil sekitar tahun 1987-an, saya sering mendengar syair pujian di masjid kira-kira bunyinya begini :

Yu sedulur yu budal budal ngaji …kanggo sangu besok yen mati…. Mati iku banget laraane tumrap songkang akeh dosane “ kemudian lanjut membaca sholawat badar “ Sholatullah sala mulloh ngala toha rosulillah”

Saya masih ingat yang mengajarkan sholawat ini adalah guru Ngaji mushola Al-Huda di Desa Sumberjo, Kec. Way Jepara, Kab. Lampung Timur sebut saja namanya Kang Sholihin, cucu almarhum Mbah Syahid sesepuh dilingkungan Masjid Al-Huda.

Ketika pujian tersebut dilantunkan, maka Masyarakat berdayun-dayun hendak pergi untuk Sholat berjamaah di Masjid. Beginilah ekspresi orang Kampung/Desa dalam beragama. Sangat menarik dalam mengekspresikan keberagamannya.

lalu apakah puji pujian termasuk bid’ah seperti yang banyak dituduhkan beberapa sedulur Islam yang lain, ya tentu itu pendapat ya boleh boleh saja dengan dalih bahwa yang tidak dilakukan Nabi kategori bid’ah, namun orang kampung tidak peduli soal tersebut meskipun di cap sebagai bid’ah dan lain sebagainya tapi dengan cerdiknya Kyai Deso menjawab “Lakum dinukum waliyadin, lana a’maluna wa lakum a’malukum” he he he cerdas juga kyai kampung, maknanya apa monggo di pahami sendiri

 

Disisi lain kehidupan desa memang begitu khas dengan kehidupan masyarakat yang begitu guyup rukun, ramah, senyum serta saling sapa-menyapa. Sebagai ilustrasi, ketika ada seorag tetangga rumah kita yang meninggal dunia misalnya. Masyarat khususnya tentangga yang ada disekiling berbondong-bondong untuk membantu kelurga yang berduka. Berbagai ragam bimkisan seperti, sayuran, buah, beras, telor dan lain sebaginya.

Ilustrasi diatas adalah betapa orang kampung punya semangat keagamaan yang sangat tinggi. menerapkan prinsip-prinsip agama yang luar biasa. Mungkin, kalaupun kita tanya dalilnya apa, mereka tidak bisa menjawab tapi bagi orang kampung yang penting adalah sikap dan prilaku yang mereka pelajari dari tradisi orangtua, guru-guru ngaji di TPQ, Madin ataupun guru-guru ngaji di mushola sudah seperti itu dari dulu. Untuk menunjukkan empati dan simpati kepada keluarga yang ditinggalkan, hal itu juga di lakukan dalam kasus kasus lain seperti ada pembangunan bedah rumah untuk warga tidak mampu di Kampung dengan sigap tetangga kanan kiri rumah segera membantu dengan apa yang mereka, ada kayu mbantu, ada pasir mbantu pasir samapai yang tidak puya pun tetap membantu dengan cara menyumabngkan tenaga atau ikut bergotong royong dengan tanpa biaya atau bayaran semua dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.

Semoga pola kehidupan keberagamaan warga kampung yang memiliki kekhasan ala Islam Nusantara tetap lestari, begitu juga pergaulan sikap tolong menolong, guyup saling bahu membahu diantara mereka adalah khasanah kehidupan bangsa ini yang perlu terus di jalankan tetap lestari, semoga. Aminn

Editorial : M. Dani Habibi, S. H.I, M. Ag

Penulis: Imam Ma'ruf, S.Pd.
Tags: Puji-pujian Kajian Nusantara

Berita Lainnya

Mitra Lazisnu Lampung Timur
WhatsApp