Saat ini kita telah memasuki bulan Muhharom tahun baru Islam 1446 Hijriyah, menurut mayoritas suku Jawa Muharrom sering disebut dengan istilah bulan suro, bagi suku Jawa bulan suro dianggap sebagai bulan yang sakral.
Malam satu Suro dimaknai sebagai malam bulan pertama dalam kalender Jawa-Islam. Penyebutan kata ‘Suro‘ bagi masyarakat Jawa artinya bulan Muharam dalam kalender hitungan Hijriah. Kata tersebut berasal dari kata ‘Asyura’ dalam bahasa Arab yang konon asal kata ‘ngasara’ yang artinya secara teks adalah sepuluh, karena ditanggal sepuluh ini terjadi kisah-kisah perjuangan heroik para nabi dan orang-orang besar dimasa lalu.
Munculnya perayaan malam satu Suro konon bertujuan untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Pada tahun 931 Hijriah atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah (Islam) dengan sistem kalender Jawa pada masa itu.
Sementara menurut catatan sejarah lainnya, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) dan pada tahun 1633 Masehi atau 1555 tahun Jawa, Sultan Agung menetapkan Tahun Jawa atau tahun Baru Saka diberlakukan di bumi Mataram dan menetapkan satu Suro sebagai tanda awal tahun baru Jawa.
Pada setiap malam satu Suro, umumnya masyarakat Jawa melakukan laku-laku tirakat, seperti lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk, dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa), Peringatan malam satu Suro. Ada juga yang berjalan dengan khusuk, ada juga ritual-ritual yang dilakukan secara individu dengan membersihkan diri secara lahir batin, melakukan introspeksi, dan mengucap syukur kepada Tuhan dengan meyakini Dia-lah yang membuat hidup dan menghidupi dunia dan seisinya.
Bahkan beberapa orang memilih melakukan tirakat di tempat sakral seperti laut, gunung, pohon besar, ataupun makam keramat tujuannya pokoknya adalah upaya melakukan perenungan diri atas prilaku yang selama ini telah mereka lakukan, secara umum berarti upaya mereka adalah untuk melakukan muhasabah menilai prilaku yang tidak baik selama ini semisal menipu orang lain, mendholimi, menyakiti dan melakukan perbuatan perbuatan maksiat lainnya.
Kejadian atau lakon diatas, Sudah barang tentu bagian dari bentuk ikhtiar dalam proses penyesalan, introspeksi diri yang di mulai dari bulan suro atau muharram yang mempunyai output atau tujuan untuk memperbaiki diri baik secara jasmaniah maupun ruhaniyah.
Disisi lain, makna bulan Suro, bagi masyarakat Jawa dari Petabudaya adalah sebagai pengingat, mereka memiliki keyakinan untuk tetap eling (mengingat) dan waspada, eling disini berarti ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti sebagai manusia harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan dan menggelincirkan ke jalan yang tidak benar dan dimurkai Tuhan.
Selanjutnya, di sebagian daerah Jawa memiliki tradisi dan karakteristik tersendiri dalam merayakan satu Suro. seperti yang terjadi di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, perayaan satu Suro biasanya dilakukan serempak pada malam pergantian tahun baru Islam ini, di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, meskipun dilakukan secara bersamaan namun keduanya memiliki karakteristik tersendiri.
Biasanya di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam satu Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah, dalam Babad Solo Raden Mas Said disebutkan bahwa, leluhur kebo bule adalah hewan kesayangan Paku Buwono II. Ciri dari leluhur kebo bule disebutkan berwarna putih kemerahan, yang merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo seorang tokoh dan ulama besar kharismatik di era tersebut.
Ketika kirab dilaksanakan, di belakang Kebo Bule pada barisan berikutnya diikuti oleh para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Untuk di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, perayaan Satu Suro dilakukan dengan mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Saat mengelilingi benteng keraton atau mubeng benteng, yang mengikuti ritual dilarang untuk berbicara, seperti orang yang sedang bertapa, hingga muncul istilah mbisu mubeng benteng, ini tentu memiliki nila edukasi dan pembelajaran agar setiap individu mampu menjaga hawa nafsunya yang pasti dalam setiap perayaan malam satu Suro di setiap daerah selalu terdapat sesi doa bersama.
Lakon diatas tidak lain bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal marabahaya. Upacara perayaan satu Suro dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, introspeksi dengan yang dilakukan setahun sebelumnya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tahun yang akan datang
Merujuk pada tradisi dan ajaran Rosululloh Muhammmad SAW, beliau mensunahkan dan mengajak para sahabatnya untuk melaksanakan ibadah puasa di hari ke Sepuluh di bulan Muharrom/suro, namun ketika itu ada beberapa orang sahabat memprotes beliau bahwa puasa di tanggal 10 Muharram.
Sama seperti puasa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, maka kemudian beliau menyampaikan sebuah pesan :
“kalau tahun depan aku diberikan umur panjang maka aku akan melengkapi puasa 10 muharam dengan menambah berpuasa di tanggal sembilan”
yang mashur dengan istilah puasa Tasu’ah, atau puasa di tanggal sembilan muhaaram hal ini agar pelaksanaan puasa ditangga l 9 dan 10 membedai dengan tradisinya orang-orang Yahudi, namun Rosululloh SAW sudah dipanggil oleh Alloh SWT sebelum sampai di hari kesembilan di bulan muharram tahun berikutnya, maka para ulama’ menyebutkan bahwa puasa di hari ke 9 pada bulan muharram adalah sunnah amaliyah atau sunnah yang di citacitakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua bisa mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya.
Editor : M. Dani Habibi
Penulis: Imam Ma'ruf, S.Pd.
Tags:
Bulan Syuro